Asal Mula Huruf Jawa

Posted by Silver Selasa, 27 Januari 2015 0 komentar
Asal Mula Huruf Jawa, Cerita Daerah Asal Jawa Tengah
Huruf Jawa

Alkisah, di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang pendekar tampan yang sakti mandraguna bernama Aji Saka. Ia mempunyai sebuah keris pusaka dan serban sakti. Selain sakti, ia juga rajin dan baik hati. Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke mana pun pergi, ia selalu ditemani oleh dua orang abdinya yang bernama Dora dan Sembada.

Pada suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.
“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada.
“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.
Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong.
“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong...!!!” demikian suara itu terdengar.
Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.
“Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.
Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu.
“Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.
Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamukan. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari ia memakan daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama Jugul Muda. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.
“Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran.
“Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan jari itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.
Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamukan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya mereka sampai di kota Kerajaan Medang Kamukan. Suasana kota itu tampak sepi. Kota itu bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh sang Prabu.
“Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora.
“Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas.
Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana.
“Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang istana.
“Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu.
“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu,” jawab Aji Saka.
“Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang pengawal yang lain.
“Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.
Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa.
“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.
Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata:
“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil menunjukkan serban yang dikenakannya.
“Hanya itu permintaanmu, hai Anak Muda! Apakah kamu tidak ingin meminta yang lebih luas lagi?” sang Prabu menawarkan.
“Sudah cukup Gusti. Hamba hanya menginginkan seluas serban ini,” jawab Aji Saka dengan tegas.
“Baiklah kalau begitu, Anak Muda! Sebelum memakanmu, akan kupenuhi permintaanmu terlebih dahulu,” kata sang Prabu.
Aji Saka pun melepas serban yang melilit di kepalanya dan menyerahkannya kepada sang Prabu.
“Ampun, Gusti! Untuk menghindari kecurangan, alangkah baiknya jika Gusti sendiri yang mengukurnya,” ujar Aji Saka.
Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, ia melangkah mundur sambil mengulur serban itu. Anehnya, setiap diulur, serban itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Karena saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur serban itu sampai di pantai Laut Selatan tanpa disadarinya,. Ketika ia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan serbannya, sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu pula berubah menjadi seekor buaya putih. Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.
Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya.
“Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisku. Katakan kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” titah Raja yang baru itu.
“Daulat, Gusti!” jawab Dora seraya memohon diri.
Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada.
“Sembada, sahabatku! Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora.
“Tidak, sabahatku! Tuan Aji berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.
Karena merasa mendapat tanggungjawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil keris itu dari tangan Sembada untuk dibawa ke istana. Kedua dua orang abdi bersahabat tersebut tidak ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.
Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng membawa kerisnya.
“Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka.
Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya ia saat tiba di sana. Ia mendapati kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka. 
Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.

Baca Selengkapnya ....

Cerita Asal usul Telaga Wekaburi Papua Barat

Posted by Silver Selasa, 25 Februari 2014 0 komentar
Telaga Wekaburi terletak di Desa Werabur, Kecamatan Windesi, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Sebelum menjadi Telaga Wekaburi, tempat ini masih berupa sungai kecil. Namun, tersebab oleh sebuah peristiwa, sungai itu kemudian berubah menjadi telaga. Peristiwa apakah itu? Simak kisahnya dalam cerita Asal Usul Telaga Wekaburi berikut ini!


Dahulu, di Wekaburi atau yang kini dikenal dengan nama Desa Werabur, terdapat sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih. Air sungai itu menjadi sumber kehidupan bagi Suku Wekaburi yang mendiami daerah tersebut. Hal yang unik di tempat ini adalah rumah-rumah panggung milik penduduk setempat dibangun di atas aliran sungai itu.
Suatu ketika, warga Suku Wekaburi akan mengadakan pesta adat di kampung. Mereka segera mengadakan berbagai persiapan seperti membangun rumah untuk para tamu undangan, menyiapkan makanan, dan sebagainya. Pada hari yang telah ditentukan, para tamu undangan dari berbagai suku seperti Suku Kandami, Wettebosy, Sakarnawari, dan Torembi tiba di Kampung Wekaburi. Di antara para tamu yang hadir, tampak seorang nenek bersama cucu perempuan bernama Isosi. Nenek itu juga ditemani oleh seekor anjing. 
Ketika hari sudah mulai gelap, acara adat pun dimulai. Acara itu awalnya berjalan lancar dan sangat meriah. Berbagai tarian dipertunjukkan di hadapan para tamu. Banyak di antara tamu yang ikut serta menari dengan riang gembira. Pada saat itulah, seorang penari tidak sengaja menginjak ekor anjing kesayangan si nenek yang sedang tidur nyenyak di dekat perapian. Tak ayal, anjing itu pun menggonggong dengan kerasnya.
Melihat peristiwa itu, si nenek menjadi marah. Ia lalu membawa anjingnya masuk ke dalam sebuah ruangan dan mengikatkan cawat pada tubuhnya. Setelah itu, ia keluar sambil memeluk anjingnya dan kemudian menari bersama penari lainnya. Nenek itu tahu bahwa perbuatannya telah melanggar adat. Menurut aturan adat, jika ada penduduk yang berbuat demikian akan mendatangkan kilat, guntur, dan disertai hujan deras. Si nenek memang sengaja melakukan hal tersebut karena ingin memberi hukuman kepada mereka yang telah menginjak anjingnya.
Nenek itu sadar bahwa perbutannya dapat menciptakan malapetaka. Oleh karena itu, sang nenek segera mengambil puntung api dan disembunyikan dalam seruas bambu agar tidak terlihat oleh orang lain. Potongan bambu itu nantinya akan dijadikan obor. Selanjutnya, nenek itu mengajak cucunya agar segera keluar dari kampung itu.
“Ayo, cucuku. Kita segera tinggalkan kampung ini,” ajak si nenek.
“Baik, Nek,” jawab Isosi.
Penerangan obor membantu si nenek bersama cucu dan anjing kesayangannya berjalan menuju ke Gunung Ainusmuwasa melalui jalan setapak. Namun tanpa mereka sadari, ada seorang pemuda yang bernama Asya mengikuti langkah mereka. Rupanya, Asya adalah kekasih Isosi, cucu si nenek.
“Tunggu, Nek!” serunya. “Bolehkah saya ikut bersama kalian?”
Mengetahui bahwa pemuda itu adalah kekasih cucunya, si nenek pun tidak keberatan. Setelah itu, rombongan si nenek kembali melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di puncak Gunung Ainusmuwasa. Dari atas gunung tampak cuaca mulai memburuk. Awan gelap mulai menutup langit di atas hulu Sungai Wekaburi. Selang beberapa saat kemudian, kilat yang disertai guntur terlihat menyambar-nyambar. Hujan deras pun akhirnya mulai turun.
Sementara itu, para penduduk Wekaburi serta tamu undangan masih asyik berpesta. Mereka tidak menyadari jika bahaya sedang mengancam. Semakin lama, hujan turun semakin lebat sehingga terjadilah banjir besar. Mereka baru sadar akan bahaya tersebut ketika air telah naik ke lantai rumah. Kepanikan akhirnya melanda para penduduk. Mereka lari kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun malang, semua sudah terlambat. Banjir yang dahsyat tersebut menghanyutkan semua yang ada.
Keesokan harinya, si nenek bersama Isosi dan Asya turun dari gunung untuk melihat peristiwa yang terjadi semalam. Tak satu pun rumah penduduk yang tersisa. Nasib yang sama juga terjadi pada para penduduk. Mereka banyak yang terbawa arus, bahkan sebagian yang lain menjelma menjadi katak dan buaya. Sementara itu, Sungai Wekaburi telah berubah menjadi sebuah telaga yang kemudian disebut Telaga Wekaburi. Hingga kini, telaga tersebut menjadi salah satu obyek wisata di daerah Teluk Wondama, Papua Barat.
Akibat peristiwa banjir yang telah menghanyutkan seluruh penduduk membuat si nenek merasa amat puas. “Itulah akibat dari perbuatan kalian! Kalian telah menginjak anjing kesayanganku,” kata nenek.
Si nenek kemudian mengawinkan Isosi dengan Asya dengan harapan bahwa kelak anak cucu mereka akan mengisi Wekaburi yang telah kosong itu. Setelah menikah, mereka kemudian membangun rumah besar dan panjang yang diberi nama Aniobiaroi.
Beberapa tahun kemudian, Isosi melahirkan banyak anak sehingga rumah itu semakin lama semakin penuh sesak. “Wah, rumah kita sudah penuh sesak, istriku. Rumah ini harus kita perbesar lagi,” ujar Asya. “Benar, Kakanda. Rumah ini harus kita perpanjang dan perbesar lagi.” jawab Isosi setuju.
Rumah Aniobiaroi akhirnya disambung lagi sehingga bertambah besar dan panjang. Rumah itu kemudian diberi nama Manupapami. Beberapa tahun kemudian, rumah itu kembali penuh sesak. Anak-anak sekaligus menantu mereka terus melahirkan banyak keturunan. Maka, Asya pun mengambil keputusan untuk menyambung rumah Aniobiroi. Rumah itu kemudian diberi nama Yobari.
Demikian seterusnya, rumah mereka tetap saja tidak mampu menampung seluruh keluarga. Oleh karena itu, mereka pun menyambung rumah itu hingga empat kali yang masing-masing diberi nama rumah Sonesyari dan Ketarana. Walaupun sudah empat kali disambung, rumah mereka tetap saja penuh sesak. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencarikan tempat yang baru bagi sebagian penghuninya dan membangun rumah untuk setiap keluarga.
Konon, anak keturunan Asya dan Isosi yang keluar dari rumah Manupapami tersebut kemudian menjadi Suku Wettebosi, sedangkan anggota keluarga yang keluar dari rumah Yobari menjadi suku Wekaburi. Adapun anggota keluarga yang keluar dari rumah Sonesyari dan Ketarana dikenal dengan nama Suku Torembi yang membangun rumah di atas air. Oleh karena itulah, kampung baru yang mereka diami tersebut dinamakan Kampung Werabur, yang berarti kampung yang terletak di atas air.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Telaga Wekaburi dari Teluk Wondama, Papua Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa perkara sekecil apapun dapat mendatangkan masalah yang lebih besar. Hanya karena menginjak anjing milik seorang nenek, penduduk Wekaburi harus menerima akibatnya, yaitu hanyut terbawa arus banjir. Oleh karena itu, kita harus selalu berhati-hati agar tidak menganggu milik orang lain, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Baca Selengkapnya ....

Asal usul Burung Cenderawasih Papua

Posted by Silver Selasa, 28 Januari 2014 0 komentar

Paradisaea_decora_by_Bowdler_Sharpe

Cenderawasih termasuk burung langka di Indonesia. Burung jenis ini hanya terdapat di Papua yang sekaligus menjadi ciri khas pulau tersebut. Warna bulunya yang sangat indah membuat cenderawasih dijuluki sebagai bird of paradise (burung dari surga). Oleh karena itu, sebagian masyarakat Papua percaya bahwa burung cenderawasih adalah titisan bidadari dari surga. Namun menurut masyarakat Fakfak, cenderawasih merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki bernama Kweiya. Bagaimana kisahnya? Simak dalam cerita Asal Usul Burung Cenderawasih berikut ini.

* * *

Pada zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya di daerah Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Suatu hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon buah merah (sejenis pandan khas Papua) yang kebetulan telah berbuah. Perempuan tua itu segera memetik buah merah lalu diberikan kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap buah merah hingga badannya terlihat segar kembali.

Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil. Melihat keajaiban itu, perempuan tersebut juga bermaksud memakan buah merah agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.


Baca Selengkapnya ....

Kisah Biwar Sang Penakluk Naga Papua

Posted by Silver Rabu, 25 Desember 2013 0 komentar
Biwar adalah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa dari daerah Mimika, Papua, Indonesia. Ketika ia masih dalam kandungan, ayahnya tewas diserang oleh seekor naga saat mengarungi sebuah sungai di daerah Tamanipia. Oleh karenanya, sejak lahir ia dirawat dan dididik oleh ibunya seorang diri dengan dibekali berbagai ilmu pengetahuan. Setelah dewasa, Biwar bermaksud untuk membinasakan naga yang telah melenyapkan nyawa ayahnya. Bagaimana cara Biwar membinasakan naga yang ganas itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Biwar Sang Penakluk Naga berikut ini!


* * *
Alkisah, di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika. Mata pencaharian penduduk tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki maupun perempuan, memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.
Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut hendak mencari sagu dengan menggunakan perahu. Selain membawa alat berupa kapak dan pangkur,[1] mereka juga membawa bekal berupa makanan dan minuman karena kegiatan memangkur sagu tersebut memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga hari.
Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh semangat, kaum laki-laki mulai menebang pohon sagu yang sudah bisa diambil sari patinya.

Baca Selengkapnya ....

Cerita Topeng Dan Pesta Roh Papua

Posted by Silver Sabtu, 07 Desember 2013 0 komentar
Topeng merupakan media atau alat utama yang digunakan oleh orang-orang Suku Asmat di Papua dalam upacara yang disebut Pesta Roh atau Pesta Topeng. Dalam istilah orang Asmat, pesta ini disebut dengan mamar atau bunmar pokbui. Pesta Roh ini bertujuan untuk memperingati roh keluarga dekat yang telah meninggal dunia. Menurut cerita, upacara mamar bermula dari sebuah peristiwa yang dialami oleh seorang anak yatim piatu. Peristiwa apakah yang dialami oleh anak itu sehingga upacara Pesta Roh menjadi tradisi dalam Suku Asmat? Ikuti kisahnya dalam cerita Topeng dan Pesta Roh berikut ini.



Alkisah, di sebuah kampung di hulu Sungai Sirets di pedalaman Merauke, Papua, hiduplah seorang anak yatim piatu atau yang biasa panggil si Yatim. Anak itu menjadi sebatang kara karena dusunnya diserang oleh kampung lain sehingga menyebabkan seluruh keluarganya meninggal dunia. Kini, si Yatim hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah hampir roboh. Hidupnya sungguh memprihatinkan. Setiap hari ia selalu menyendiri karena tidak disenangi oleh warga tanpa alasan yang jelas. Walaupun penduduk di kampung itu hidup makmur, namun tak seorang pun dari mereka yang mau membantu si Yatim.
Nasib si Yatim semakin parah ketika suatu hari ia dituduh mencuri makanan dan barang-barang milik penduduk kampung tanpa disertai dengan bukti. Saat ia mengelak, warga justru hendak menghukumnya. Karena merasa tidak bersalah, si Yatim pun melarikan diri meninggalkan kampungnya. Melihat si Yatim melarikan diri, seorang warga langsung berteriak.
“Ayo, kejar anak itu!”
Orang-orang segera mengejar si Yatim beramai-ramai untuk menangkapnya. Sedangkan si Yatim terus berlari ketakutan masuk ke dalam hutan. Saat tiba di tengah hutan, ia beristirahat sejenak di bawah sebuah beringin yang rindang. Di situlah ia berpikir bahwa kalau ia terus berlari maka dirinya pasti akan tertangkap. Akhirnya, si Yatim memutuskan untuk bersembunyi di atas pohon beringin tersebut.
“Ah, sebaiknya aku bersembunyi di atas pohon ini. Aku yakin, mereka tidak akan melihatku,” gumamnya seraya memanjat pohon beringin itu.
Setelah berada di atas pohon, si Yatim kemudian bersembunyi di balik rerimbunan daun dan jumbaian akar-akar beringin. Tak lama kemudian, orang-orang yang mengejarnya tiba dan berhenti sejenak di bawah pohon beringin itu karena kehilangan jejak.
“Hai, lari ke mana anak itu?” celetuk salah seorang dari mereka, kebingungan.
Penduduk yang lain pun sama bingungnya. Sementara itu, si Yatim yang bersembunyi di atas pohon beringin merasa ketakutan kalau-kalau keberadaannya diketahui oleh orang-orang yang mengejarnya. Untung para penduduk segera meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan pengejaran sampai ke dalam hutan. Setelah aman, si Yatim pun keluar dari persembunyiannya dengan perasaan lega. Ia kemudian duduk di salah satu cabang pohon beringin itu untuk melepaskan lelah.
Hari sudah gelap. Anak sebatang kara itu masih saja duduk melamun di atas pohon. Tampaknya si Yatim sedang bingung memikirkan bagaimana cara membuat penduduk kampung tidak lagi mengejarnya. Akhirnya, si Yatim menemukan sebuah ide, yaitu ia ingin menakut-nakuti para penduduk dengan mengenakan topeng yang menyeramkan. Ketika hendak turun dari pohon itu untuk mencari akar-akar kayu yang akan dibuat topeng, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok makhluk menyeramkan yang berdiri di cabang pohon beringin yang lain. Rupanya, makhluk itu adalah roh penunggu pohon beringin itu.
“Hai, anak manusia! Kamu siapa dan kenapa kamu berada di atas pohon ini?” tanya makhluk itu.
“Sa... saya si Yatim,” jawab si Yatim piatu dengan gugup karena ketakutan.
Bocah itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di atas pohon beringin itu. Makhluk penunggu pohon beringin itu pun merasa iba terhadap nasib yang dialami si Yaitm. Meskipun wajahnya tampak menakutkan, makhluk itu ternyata baik hati. Ia kemudian memberikan makanan dan minuman kepada si Yatim. Akhirnya, mereka pun bersahabat.
Setelah itu, si Yatim turun dari atas pohon untuk mencari akar-akar pohon yang akan dianyam menjadi sebuah topeng yang menyerupai roh penunggu pohon beringin itu. Membuat topeng seperti itu tidaklah mudah bagi si Yatim. Ia membutuhkan waktu sekitar lima hari baru bisa menyelesaikannya. Setelah selesai, topeng itu ia pakai dan kemudian bercermin di air. Betapa senangnya hati si Yatim karena topeng hasil buatannya benar-benar menyerupai wajah roh penunggu pohon beringin itu.
“Aku yakin, para penduduk pasti akan ketakutan melihatku,” gumamnya.
Ketika hari mulai gelap, si Yatim pergi ke perkampungan dengan mengenakan topeng dan menyelinap masuk ke salah satu rumah penduduk. Penghuni rumah itu pun langsung lari terbirit-birit karena ketakutan.
“Tolong...! Tolong...! Ada setaaaan...!” teriak penduduk yang ketakutan itu.
Mendengar teriakan tersebut, penduduk kampung lainnya segera berhamburan keluar rumah dan mengerumuni warga yang berteriak itu.
“Hai, apa yang terjadi denganmu?” tanya kepala kampung.
“Ada setan di dalam rumahku. Sungguh, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Wajahnya sangat menyeramkan” jelas warga itu.
Mendengar keterangan tersebut, kepala kampung segera memerintahkan seluruh warganya agar mengumpulkan sagu untuk dipersembahkan kepada makhluk itu dengan harapan makhluk itu meninggalkan kampung mereka. Para warga pun segera pulang ke rumah mereka masing-masing untuk mengambil sagu. Namun, setelah mereka kembali menemui kepala kampung, tak seorang pun yang membawa sagu. Ternyata, persediaan sagu di desa tersebut telah habis.
“Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kalian pergi ke hutan untuk memangkur sagu,” ujar kepala kampung.
Pada keesokan harinya, semua orang di kampung itu beramai-ramai berangkat ke hutan. Sementara itu, si Yatim pun segera menyusun siasat. Ia akan menakut-nakuti orang-orang yang memangkur sagu di dekat pohon beringin tempat ia bersembunyi. Ketika hari mulai gelap, si Yatim menutupi jalan setapak di dekat pohon beringin itu dengan dahan-dahan pohon. Jalan itu nantinya akan dilewati oleh para pemangkur sagu saat hendak pulang ke perkampungan. Selesai menutupi jalan, si Yatim segera memakai topengnya lalu bersembunyi di balik semak belukar yang ada di bawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, tampak serombongan wanita yang membawa sagu hendak melintasi jalan setapak itu. Melihat jalan terhalang oleh dahan-dahan pohon beringin, rombongan wanita itu terpaksa berhenti dan meletakkan sagu mereka di tanah. Pada saat mereka sibuk membersihkan dahan-dahan yang menghalangi jalan, si Yatim membuat suara menakutkan lalu muncul dari semak belukar dengan memakai topeng. Tak ayal, rombongan wanita pembawa sagu itu langsung berteriak ketakutan.
“Ada setaaan...! Ada setaaan...!” teriak rombongan wanita itu saat melihat topeng yang amat menyeramkan.
Rombongan wanita itu pun lari terbirit-birit dan meninggalkan sagu-sagu mereka. Melihat rombongan wanita itu telah pergi, si Yatim segera membuka topengnya lalu mengambil sagu-sagu tersebut untuk dibawa ke tempat persembunyiannya. Ia kemudian membakar sagu itu dan memakannya sampai kenyang.
Sejak itu, si Yatim selalu menakut-nakuti setiap warga yang melintasi jalan itu dan mengambil sagu-sagu mereka. Hal itu ia lakukan untuk membuat orang-orang kampung yang dulu menganiaya dirinya semakin jera. Sementara itu, penduduk kampung menjadi resah dengan kejadian-kejadian menyeramkan yang sering mereka alami.
“Sebenarnya makhluk apa yang suka menakut-nakuti kita itu?” tanya seorang warga.
Tak seorang pun warga mengetahuinya. Karena penasaran, mereka bersepakat untuk menjebak makhluk itu. Suatu hari, serombongan wanita diperintahkan untuk pergi memangkur sagu ke dalam hutan. Sementara itu, sejumlah kaum laki-laki yang kuat dan pemberani diperintahkan untuk mengintai makhluk itu saat melakukan aksinya. Ketika para wanita pulang dan menemukan dahan-dahan yang menghalangi jalan, makhluk yang tidak lain adalah si Yatim bertopeng itu segera menakut-nakuti mereka. Setelah rombongan pemangkur itu lari meninggalkan sagu mereka, anak yatim piatu itu segera membuka topengnya. Ia tak sadar jika ada sejumlah orang yang mengintainya.
“Hai, lihat!” seru seorang warga saat melihat wajah di balik topeng itu, “Oh, rupanya makhluk itu ternyata si anak yatim piatu yang selama ini kita kejar.”
Ketika si Yatim hendak mengambil sagu-sagu yang tergeletak di tanah, penduduk kampung keluar dari tempat persembunyian mereka dan segera mengepung bocah itu.
“Mau lari ke mana kamu, hai anak yatim?!” hardik seorang warga.
Si Yatim akhirnya tertangkap basah oleh penduduk dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia pun digiring ke perkampungan untuk diadili secara adat. Namun, sebelum memasuki perkampungan, si Yatim tiba-tiba hilang secara gaib. Orang-orang kampung yang menggiringnya hanya terperangah menyaksikan peristiwa itu.
Sejak si Yatim menghilang, para penduduk merasa sudah aman karena tak ada lagi orang yang menakut-nakuti mereka. Namun, setiap kali melintas di dekat pohon beringin itu mereka masih saja sering diganggu oleh roh si Yatim. Untuk menghalau roh itu, mereka pun membuat topeng yang menyerupai topeng si Yatim. Sejak itu, topeng seperti itu digunakan dalam sebuah ritual yang dikenal dengan Pesta roh atau Pesta Topeng yang oleh masyarakat setempat disebut dengan mamar atau bunmar pokbui.
Kini, ritual Pesta Roh sudah menjadi tradisi masyarakat Suku Asmat untuk memperingati roh keluarga dekat mereka yang telah meninggal dunia. Jenis topeng yang mereka gunakan pun bervariasi. Tidak saja terbuat dari akar-akar kayu, tetapi juga dari belahan-belahan rotan atau kulit kayu fum (genemo hutan). Jenis topeng yang terbuat dari rotan disebut manimar, sedangkan topeng yang terbuat dari kulit kayu fum disebut ndat jamu.
* * *
Demikian cerita Topeng dan Pesta Roh dari daerah Papua. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah orang yang menganiaya anak yatim piatu seperti halnya penduduk kampung dalam cerita di atas akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Oleh karena telah mengganggu si Yatim, para penduduk kampung selalu mendapat gangguan dari roh si Yatim.

Baca Selengkapnya ....

Asal Mula Nama Irian

Posted by Silver Rabu, 13 November 2013 0 komentar

karte-6-659

Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah ke­luarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut ber­­nama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, sau­­­­dara-saudaranya selalu meminta Ma­­­na­­namakrdi tidur di luar rumah. Jika Mana­na­­­­makrdi me­lawan, tak segan-segan sau­­­­dara-saudara­­­­­nya akan menendangnya ke­l­u­ar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya su­­dah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah da­rat­an yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.


Baca Selengkapnya ....

Kisah Meraksamana Papua

Posted by Silver Kamis, 31 Oktober 2013 0 komentar
Meraksamana adalah seorang pemuda yang tinggal di pedalaman Papua. Ia mempunyai saudara bernama Siraiman. Ke mana pun pergi, mereka selalu bersama dan selalu saling membantu. Suatu ketika, Meraksamana memperistri seorang bidadari dari kahyangan. Namun, tidak berapa lama setelah mereka menikah, istrinya diculik oleh seorang raja yang tinggal di seberang laut bernama Raja Koranobini. Mampukah Meraksamana merebut kembali istrinya dari tangan Koranobini? Ikuti kisahnya dalam cerita Meraksamana berikut ini!

Dahulu, di sebuah kampung di pedalaman Papua, hiduplah dua pemuda yang bernama Meraksamana dan Siraiman. Sehari-hari mereka mencari kayu, berburu, dan mencari ikan di rawa maupun di sungai. Mereka, dan juga penduduk kampung lainnya melakoni pekerjaan tersebut karena memang daerah di sekitar mereka memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Suatu malam, Meraksamana terlihat sedang berbaring berbaring di lantai rumahnya yang beralaskan daun-daun kering. Badannya terasa lelah setelah seharian bekerja. Pemuda itu tidak kuat lagi menahan rasa kantuk hingga akhirnya terlelap. Selang beberapa saat kemudian, Meraksamana tiba-tiba terbangun dan mengusap matanya.
“Oh, aku baru saja bermimpi melihat puluhan bidadari sedang mandi di telaga,” gumamnya.
Meraksamana merasa mimpi itu seperti nyata. Karena penasaran, malam itu juga ia segera menuju ke telaga yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Di bawah temaram cahaya bulan, ia berjalan menyusuri jalan setapak menuju telaga. Alangkah terkejutnya ia saat tiba di tempat itu, ia melihat sepuluh bidadari dari kahyangan sedang mandi sambil bersenda-gurau di tengah-tengah telaga. Ia pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar dan mengawasi gerak-gerik para bidadari tersebut dari balik pohon.
“Ternyata, mimpiku benar-benar menjadi kenyataan,” kata Meraksamana, “Bidadari-bidadari itu sungguh cantik dan mempesona.”

Baca Selengkapnya ....
Copyright of Cerita Nusantara .