Kisah Biwar Sang Penakluk Naga Papua

Posted by Silver Rabu, 25 Desember 2013 0 komentar
Biwar adalah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa dari daerah Mimika, Papua, Indonesia. Ketika ia masih dalam kandungan, ayahnya tewas diserang oleh seekor naga saat mengarungi sebuah sungai di daerah Tamanipia. Oleh karenanya, sejak lahir ia dirawat dan dididik oleh ibunya seorang diri dengan dibekali berbagai ilmu pengetahuan. Setelah dewasa, Biwar bermaksud untuk membinasakan naga yang telah melenyapkan nyawa ayahnya. Bagaimana cara Biwar membinasakan naga yang ganas itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Biwar Sang Penakluk Naga berikut ini!


* * *
Alkisah, di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika. Mata pencaharian penduduk tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki maupun perempuan, memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.
Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut hendak mencari sagu dengan menggunakan perahu. Selain membawa alat berupa kapak dan pangkur,[1] mereka juga membawa bekal berupa makanan dan minuman karena kegiatan memangkur sagu tersebut memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga hari.
Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh semangat, kaum laki-laki mulai menebang pohon sagu yang sudah bisa diambil sari patinya.

Baca Selengkapnya ....

Cerita Topeng Dan Pesta Roh Papua

Posted by Silver Sabtu, 07 Desember 2013 0 komentar
Topeng merupakan media atau alat utama yang digunakan oleh orang-orang Suku Asmat di Papua dalam upacara yang disebut Pesta Roh atau Pesta Topeng. Dalam istilah orang Asmat, pesta ini disebut dengan mamar atau bunmar pokbui. Pesta Roh ini bertujuan untuk memperingati roh keluarga dekat yang telah meninggal dunia. Menurut cerita, upacara mamar bermula dari sebuah peristiwa yang dialami oleh seorang anak yatim piatu. Peristiwa apakah yang dialami oleh anak itu sehingga upacara Pesta Roh menjadi tradisi dalam Suku Asmat? Ikuti kisahnya dalam cerita Topeng dan Pesta Roh berikut ini.



Alkisah, di sebuah kampung di hulu Sungai Sirets di pedalaman Merauke, Papua, hiduplah seorang anak yatim piatu atau yang biasa panggil si Yatim. Anak itu menjadi sebatang kara karena dusunnya diserang oleh kampung lain sehingga menyebabkan seluruh keluarganya meninggal dunia. Kini, si Yatim hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah hampir roboh. Hidupnya sungguh memprihatinkan. Setiap hari ia selalu menyendiri karena tidak disenangi oleh warga tanpa alasan yang jelas. Walaupun penduduk di kampung itu hidup makmur, namun tak seorang pun dari mereka yang mau membantu si Yatim.
Nasib si Yatim semakin parah ketika suatu hari ia dituduh mencuri makanan dan barang-barang milik penduduk kampung tanpa disertai dengan bukti. Saat ia mengelak, warga justru hendak menghukumnya. Karena merasa tidak bersalah, si Yatim pun melarikan diri meninggalkan kampungnya. Melihat si Yatim melarikan diri, seorang warga langsung berteriak.
“Ayo, kejar anak itu!”
Orang-orang segera mengejar si Yatim beramai-ramai untuk menangkapnya. Sedangkan si Yatim terus berlari ketakutan masuk ke dalam hutan. Saat tiba di tengah hutan, ia beristirahat sejenak di bawah sebuah beringin yang rindang. Di situlah ia berpikir bahwa kalau ia terus berlari maka dirinya pasti akan tertangkap. Akhirnya, si Yatim memutuskan untuk bersembunyi di atas pohon beringin tersebut.
“Ah, sebaiknya aku bersembunyi di atas pohon ini. Aku yakin, mereka tidak akan melihatku,” gumamnya seraya memanjat pohon beringin itu.
Setelah berada di atas pohon, si Yatim kemudian bersembunyi di balik rerimbunan daun dan jumbaian akar-akar beringin. Tak lama kemudian, orang-orang yang mengejarnya tiba dan berhenti sejenak di bawah pohon beringin itu karena kehilangan jejak.
“Hai, lari ke mana anak itu?” celetuk salah seorang dari mereka, kebingungan.
Penduduk yang lain pun sama bingungnya. Sementara itu, si Yatim yang bersembunyi di atas pohon beringin merasa ketakutan kalau-kalau keberadaannya diketahui oleh orang-orang yang mengejarnya. Untung para penduduk segera meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan pengejaran sampai ke dalam hutan. Setelah aman, si Yatim pun keluar dari persembunyiannya dengan perasaan lega. Ia kemudian duduk di salah satu cabang pohon beringin itu untuk melepaskan lelah.
Hari sudah gelap. Anak sebatang kara itu masih saja duduk melamun di atas pohon. Tampaknya si Yatim sedang bingung memikirkan bagaimana cara membuat penduduk kampung tidak lagi mengejarnya. Akhirnya, si Yatim menemukan sebuah ide, yaitu ia ingin menakut-nakuti para penduduk dengan mengenakan topeng yang menyeramkan. Ketika hendak turun dari pohon itu untuk mencari akar-akar kayu yang akan dibuat topeng, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok makhluk menyeramkan yang berdiri di cabang pohon beringin yang lain. Rupanya, makhluk itu adalah roh penunggu pohon beringin itu.
“Hai, anak manusia! Kamu siapa dan kenapa kamu berada di atas pohon ini?” tanya makhluk itu.
“Sa... saya si Yatim,” jawab si Yatim piatu dengan gugup karena ketakutan.
Bocah itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di atas pohon beringin itu. Makhluk penunggu pohon beringin itu pun merasa iba terhadap nasib yang dialami si Yaitm. Meskipun wajahnya tampak menakutkan, makhluk itu ternyata baik hati. Ia kemudian memberikan makanan dan minuman kepada si Yatim. Akhirnya, mereka pun bersahabat.
Setelah itu, si Yatim turun dari atas pohon untuk mencari akar-akar pohon yang akan dianyam menjadi sebuah topeng yang menyerupai roh penunggu pohon beringin itu. Membuat topeng seperti itu tidaklah mudah bagi si Yatim. Ia membutuhkan waktu sekitar lima hari baru bisa menyelesaikannya. Setelah selesai, topeng itu ia pakai dan kemudian bercermin di air. Betapa senangnya hati si Yatim karena topeng hasil buatannya benar-benar menyerupai wajah roh penunggu pohon beringin itu.
“Aku yakin, para penduduk pasti akan ketakutan melihatku,” gumamnya.
Ketika hari mulai gelap, si Yatim pergi ke perkampungan dengan mengenakan topeng dan menyelinap masuk ke salah satu rumah penduduk. Penghuni rumah itu pun langsung lari terbirit-birit karena ketakutan.
“Tolong...! Tolong...! Ada setaaaan...!” teriak penduduk yang ketakutan itu.
Mendengar teriakan tersebut, penduduk kampung lainnya segera berhamburan keluar rumah dan mengerumuni warga yang berteriak itu.
“Hai, apa yang terjadi denganmu?” tanya kepala kampung.
“Ada setan di dalam rumahku. Sungguh, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Wajahnya sangat menyeramkan” jelas warga itu.
Mendengar keterangan tersebut, kepala kampung segera memerintahkan seluruh warganya agar mengumpulkan sagu untuk dipersembahkan kepada makhluk itu dengan harapan makhluk itu meninggalkan kampung mereka. Para warga pun segera pulang ke rumah mereka masing-masing untuk mengambil sagu. Namun, setelah mereka kembali menemui kepala kampung, tak seorang pun yang membawa sagu. Ternyata, persediaan sagu di desa tersebut telah habis.
“Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kalian pergi ke hutan untuk memangkur sagu,” ujar kepala kampung.
Pada keesokan harinya, semua orang di kampung itu beramai-ramai berangkat ke hutan. Sementara itu, si Yatim pun segera menyusun siasat. Ia akan menakut-nakuti orang-orang yang memangkur sagu di dekat pohon beringin tempat ia bersembunyi. Ketika hari mulai gelap, si Yatim menutupi jalan setapak di dekat pohon beringin itu dengan dahan-dahan pohon. Jalan itu nantinya akan dilewati oleh para pemangkur sagu saat hendak pulang ke perkampungan. Selesai menutupi jalan, si Yatim segera memakai topengnya lalu bersembunyi di balik semak belukar yang ada di bawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, tampak serombongan wanita yang membawa sagu hendak melintasi jalan setapak itu. Melihat jalan terhalang oleh dahan-dahan pohon beringin, rombongan wanita itu terpaksa berhenti dan meletakkan sagu mereka di tanah. Pada saat mereka sibuk membersihkan dahan-dahan yang menghalangi jalan, si Yatim membuat suara menakutkan lalu muncul dari semak belukar dengan memakai topeng. Tak ayal, rombongan wanita pembawa sagu itu langsung berteriak ketakutan.
“Ada setaaan...! Ada setaaan...!” teriak rombongan wanita itu saat melihat topeng yang amat menyeramkan.
Rombongan wanita itu pun lari terbirit-birit dan meninggalkan sagu-sagu mereka. Melihat rombongan wanita itu telah pergi, si Yatim segera membuka topengnya lalu mengambil sagu-sagu tersebut untuk dibawa ke tempat persembunyiannya. Ia kemudian membakar sagu itu dan memakannya sampai kenyang.
Sejak itu, si Yatim selalu menakut-nakuti setiap warga yang melintasi jalan itu dan mengambil sagu-sagu mereka. Hal itu ia lakukan untuk membuat orang-orang kampung yang dulu menganiaya dirinya semakin jera. Sementara itu, penduduk kampung menjadi resah dengan kejadian-kejadian menyeramkan yang sering mereka alami.
“Sebenarnya makhluk apa yang suka menakut-nakuti kita itu?” tanya seorang warga.
Tak seorang pun warga mengetahuinya. Karena penasaran, mereka bersepakat untuk menjebak makhluk itu. Suatu hari, serombongan wanita diperintahkan untuk pergi memangkur sagu ke dalam hutan. Sementara itu, sejumlah kaum laki-laki yang kuat dan pemberani diperintahkan untuk mengintai makhluk itu saat melakukan aksinya. Ketika para wanita pulang dan menemukan dahan-dahan yang menghalangi jalan, makhluk yang tidak lain adalah si Yatim bertopeng itu segera menakut-nakuti mereka. Setelah rombongan pemangkur itu lari meninggalkan sagu mereka, anak yatim piatu itu segera membuka topengnya. Ia tak sadar jika ada sejumlah orang yang mengintainya.
“Hai, lihat!” seru seorang warga saat melihat wajah di balik topeng itu, “Oh, rupanya makhluk itu ternyata si anak yatim piatu yang selama ini kita kejar.”
Ketika si Yatim hendak mengambil sagu-sagu yang tergeletak di tanah, penduduk kampung keluar dari tempat persembunyian mereka dan segera mengepung bocah itu.
“Mau lari ke mana kamu, hai anak yatim?!” hardik seorang warga.
Si Yatim akhirnya tertangkap basah oleh penduduk dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia pun digiring ke perkampungan untuk diadili secara adat. Namun, sebelum memasuki perkampungan, si Yatim tiba-tiba hilang secara gaib. Orang-orang kampung yang menggiringnya hanya terperangah menyaksikan peristiwa itu.
Sejak si Yatim menghilang, para penduduk merasa sudah aman karena tak ada lagi orang yang menakut-nakuti mereka. Namun, setiap kali melintas di dekat pohon beringin itu mereka masih saja sering diganggu oleh roh si Yatim. Untuk menghalau roh itu, mereka pun membuat topeng yang menyerupai topeng si Yatim. Sejak itu, topeng seperti itu digunakan dalam sebuah ritual yang dikenal dengan Pesta roh atau Pesta Topeng yang oleh masyarakat setempat disebut dengan mamar atau bunmar pokbui.
Kini, ritual Pesta Roh sudah menjadi tradisi masyarakat Suku Asmat untuk memperingati roh keluarga dekat mereka yang telah meninggal dunia. Jenis topeng yang mereka gunakan pun bervariasi. Tidak saja terbuat dari akar-akar kayu, tetapi juga dari belahan-belahan rotan atau kulit kayu fum (genemo hutan). Jenis topeng yang terbuat dari rotan disebut manimar, sedangkan topeng yang terbuat dari kulit kayu fum disebut ndat jamu.
* * *
Demikian cerita Topeng dan Pesta Roh dari daerah Papua. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah orang yang menganiaya anak yatim piatu seperti halnya penduduk kampung dalam cerita di atas akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Oleh karena telah mengganggu si Yatim, para penduduk kampung selalu mendapat gangguan dari roh si Yatim.

Baca Selengkapnya ....

Asal Mula Nama Irian

Posted by Silver Rabu, 13 November 2013 0 komentar

karte-6-659

Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah ke­luarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut ber­­nama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, sau­­­­dara-saudaranya selalu meminta Ma­­­na­­namakrdi tidur di luar rumah. Jika Mana­na­­­­makrdi me­lawan, tak segan-segan sau­­­­dara-saudara­­­­­nya akan menendangnya ke­l­u­ar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya su­­dah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah da­rat­an yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.


Baca Selengkapnya ....

Kisah Meraksamana Papua

Posted by Silver Kamis, 31 Oktober 2013 0 komentar
Meraksamana adalah seorang pemuda yang tinggal di pedalaman Papua. Ia mempunyai saudara bernama Siraiman. Ke mana pun pergi, mereka selalu bersama dan selalu saling membantu. Suatu ketika, Meraksamana memperistri seorang bidadari dari kahyangan. Namun, tidak berapa lama setelah mereka menikah, istrinya diculik oleh seorang raja yang tinggal di seberang laut bernama Raja Koranobini. Mampukah Meraksamana merebut kembali istrinya dari tangan Koranobini? Ikuti kisahnya dalam cerita Meraksamana berikut ini!

Dahulu, di sebuah kampung di pedalaman Papua, hiduplah dua pemuda yang bernama Meraksamana dan Siraiman. Sehari-hari mereka mencari kayu, berburu, dan mencari ikan di rawa maupun di sungai. Mereka, dan juga penduduk kampung lainnya melakoni pekerjaan tersebut karena memang daerah di sekitar mereka memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Suatu malam, Meraksamana terlihat sedang berbaring berbaring di lantai rumahnya yang beralaskan daun-daun kering. Badannya terasa lelah setelah seharian bekerja. Pemuda itu tidak kuat lagi menahan rasa kantuk hingga akhirnya terlelap. Selang beberapa saat kemudian, Meraksamana tiba-tiba terbangun dan mengusap matanya.
“Oh, aku baru saja bermimpi melihat puluhan bidadari sedang mandi di telaga,” gumamnya.
Meraksamana merasa mimpi itu seperti nyata. Karena penasaran, malam itu juga ia segera menuju ke telaga yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Di bawah temaram cahaya bulan, ia berjalan menyusuri jalan setapak menuju telaga. Alangkah terkejutnya ia saat tiba di tempat itu, ia melihat sepuluh bidadari dari kahyangan sedang mandi sambil bersenda-gurau di tengah-tengah telaga. Ia pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar dan mengawasi gerak-gerik para bidadari tersebut dari balik pohon.
“Ternyata, mimpiku benar-benar menjadi kenyataan,” kata Meraksamana, “Bidadari-bidadari itu sungguh cantik dan mempesona.”

Baca Selengkapnya ....

Legenda Batu Keramat Papua Barat

Posted by Silver Rabu, 14 Agustus 2013 0 komentar
Batu Keramat terletak di atas Gunung Kamboi Rama, Kabupaten Kepulauan Yapen, papua barat Indonesia. Setiap setahun sekali, masyarakat setempat mengadakan upacara pemujaan terhadap batu keramat itu. Mengapa mereka mengeramatkan dan memuja batu itu? Siapakah yang pertama kali menemukannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Batu Keramat berikut.

Alkisah, di daerah Yapen Timur, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Indonesia, terdapat sebuah gunung bernama Kamboi Rama. Di atas gunung itu terdapat dua dusun, yaitu Dusun Kamboi Rama yang dihuni oleh sekelompok manusia, dan Dusun Aroempi yang ditumbuhi tanaman sagu milik seorang raja tanah yang bergelar Dewa Iriwonawani. Dewa Iriwonawani juga memiliki sebuah tifah atau gendang gaib yang diberi nama sikerei atau soworoi. Jika gendang itu berbunyi, para penduduk Dusun Kamboi Rama berkumpul di Dusun Aroempi untuk menyaksikan gendang itu. Namun, tidak semua penduduk dapat melihat gendang gaib itu, kecuali orang-orang tua yang memiliki kekuatan gaib.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk Kamboi Rama, kaum perempuan mencari sagu di Dusun Aroempi milik Dewa Irowonawani, sedangkan kaum laki-laki mencari lauk sagu dengan cara menangkap hewan di hutan. Setiap hari, perempuan Kamboi Rama secara berombongan berangkat ke Dusun Aroempi untuk mencari sagu. Sebelum menebang pohon sagu, terlebih dahulu mereka mengadakan upacara penghormatan kepada Dewa Irowonawani agar mereka bisa memperoleh inti atau sari sagu yang bagus dan dapat menyehatkan tubuh.
Pohon sagu yang sudah ditebang mereka kuliti batangnya untuk mendapatkan sagu yang berada di dalamnya. Sagu tersebut mereka tumbuk dengan menggunakan pangkur. Sesuai dengan nama alat yang digunakan, proses menumbuk sagu ini dikenal dengan istilah memangkur. Sagu yang telah ditumbuk menghasilkan ampas sagu, yaitu mirip dengan ampas kelapa. Kemudian, ampas sagu tersebut mereka beri air lalu memerasnya ke dalam wadah dari belahan bambu. Air perasan tersebut mereka biarkan beberapa saat agar inti sagu mengendap di dasar wadah. Setelah inti sagu mengendap, merekap pun membuang airnya. Kemudian, endapan inti sagu tersebut mereka bentuk seperti bola tenis atau memanjang seperti lontong, lalu menyimpannya ke dalam tumang, yaitu keranjang yang terbuat dari rotan. Setelah itu, mereka membawanya pulang dengan cara menggendongnya di punggung. Begitulah pekerjaan kaum perempuan penduduk Dusun Kamboi Rama setiap hari.
Lama-kelamaan pohon sagu di Dusun Kamboi Rama semakin berkurang. Melihat keadaan itu, Dewa Iriwonawani pun murka. Ia memindahkan tanaman sagunya ke daerah lain. Karena takut mendapat murka dari Dewa Iriwonawani, penduduk Dusun Kamboi Rama memutuskan pindah ke daerah pantai dan mendirikan tempat tinggal baru yang diberi nama Randuayaivi. Terkecuali sepasang suami-istri yang masih tetap tinggal di atas gunung tersebut bersama Dewa Iriwonawai. Sepasang suami-istri tersebut bernama Irimiami dan Isoray. Untuk bertahan hidup, mereka berburu rusa di hutan dan menanam umbi-umbian di ladang.
Pada suatu hari, sepulang dari ladang, Irimiami dan Isoray sedang beristirahat di bawah sebuah pohon yang rimbun. Irimiami duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, sedangkan Isoray duduk di atas sebuah batu besar yang berada di bawah pohon itu. Di tengah asyik beristirahat, tiba-tiba Isoray berteriak memekik dan melompat dari batu itu.
“Aduh, Kakak..! Panas... panas... panas...!” pekik Isoray sambil mengusap-usap bokongnya.
“Apa yang terjadi denganmu, istriku?” tanya Irimiami.
“Entahlah, Kakak! Tiba-tiba batu itu menjadi panas,” jawab Isoray dalam keadaan panik.
Beberapa saat kemudian, batu itu tiba-tiba mengeluarkan kepulan asap. Karena penasaran, Irimiami pun mencoba duduk di atas batu. Begitu menduduki batu itu, ia pun berteriak memekik sama seperti istrinya. Ia semakin penasaran ingin mencoba tingkat kepanasan batu itu. Ia mengambil daging rusa hasil buruannya dan meletakkannya di atas batu itu. Tak berapa lama kemudian, terciumlah aroma daging rusa yang mengundang selera makan. Setelah matang, mereka pun segera mengangkat dan mencicipi daging rusa itu.
“Hmmmm... lezatnya daging rusa ini,” gumam Irimiami setelah mencicipi sepotong daging rusa itu.
“Istriku! Coba rasakan daging rusa ini!” seru Irimiami seraya memberi sepotong daging rusa kepada istrinya.
Setelah habis mencicipi sepotong daging rusa itu, Isoray pun ketagihan. Karena lapar setelah hampir seharian berburu, mereka pun menyantap daging rusa itu dengan lahapnya hingga habis. Sejak itu, mereka selalu memasak makanan dengan cara meletakkannya di atas batu itu. Semakin hari batu itu semakin banyak mengeluarkan asap panas. Oleh karena itu, Irimiami dan istrinya semakin penasaran ingin selalu mencoba tingkat kepanasan batu itu. 
Irimiami dan istrinya mengambil sebatang bambu, lalu menggosokkannya pada batu itu. Dalam waktu singkat, bambu itu terputus dan gosokan pada bambu itu mengeluarkan percikan api. Setelah itu, mereka mengumpulkan rumput dan daun kering, lalu meletakkannya di atas batu itu. Tak berapa lama kemudian, rumput dan daun itu mengeluarkan gumpalan asap tebal dan panas.
Pada suatu siang yang sangat terik, Irimiami dan istrinya kembali mengumpulkan rumput dan daun kering yang lebih banyak lagi. Rumput dan daun kering tersebut mereka letakkan di atas batu itu. Tak berapa lama mereka menunggu, rumput dan daun kering tersebut terbakar hingga mengeluarkan api yang sangat panas. Melihat kejadian itu, mereka panik dan ketakutan, terutama Isoray.
“Kakak! Apa yang harus kita lakukan? Aku takut terjadi kebakaran di tempat ini,” kata Isoray dengan panik.
Irimiami dan istrinya berusaha untuk memadamkan api di atas batu itu, namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka pun segera memohon bantuan kepada Dewa Iriwonawai. Dengan kesaktiannya, Dewa Iriwonawai berhasil memamdamkan api itu. Rupanya, kejadian tersebut tidak membuat Irimiami dan istrinya jera. Mereka terus melakukan percobaan terhadap batu itu. Mereka kembali meletakkan rumput, daun, dan kayu kering yang lebih banyak lagi di atas batu itu. Tak pelak lagi, asap tebal pun mengepul dan api menyala sangat besar dan panas di puncak Gunung Kamboi Rama selama tujuh hari tujuh malam. Mereka kembali panik dan ketakutan. Tak henti-hentinya mereka memohon kepada Dewa Iriwonawai agar memadamkan api tersebut.
Para penduduk Randuayaivi yang berada di pantai pun terkejut ketika menyaksikan kejadian itu. Mereka mengira terjadi kebakaran hutan di atas Gunung Kamboi Rama. Ketika mendengar gendang soworai berbunyi, mereka pun segera berlari menuju ke Gunung Kamboi Rama untuk menyaksikan peristiwa tersebut lebih dekat. Setibanya di atas gunung itu, mereka disambut oleh Irimiami dan Isoray. Irimiami pun menceritakan tentang keajaiban batu itu kepada mereka. Mulanya, para penduduk tidak percaya pada cerita itu. Namun setelah Irimiami dan istrinya menyuruh mereka mencicipi makanan yang telah dipanaskan di atas batu itu, barulah mereka percaya. Sejak itulah, Irimiami dan istrinya menamai batu itu Batu Keramat dan mengajak para penduduk untuk mengadakan pesta adat. Penduduk Randuayaivi pun setuju.
Keesokan harinya, penduduk Kampung Randuayaivi berkumpul di atas Gunung Kamboi Rama untuk mengadakan pesta. Mereka membawa perbekalan seperti keladi, ikan, dan makanan lainnya. Berbagai jenis makanan tersebut mereka letakkan di atas batu keramat. Pesta adat tersebut berlangsung selama tiga hari tiga malam. Irimiami bersama istri dan seluruh penduduk mengelilingi batu keramat itu sambil menari dan memujanya. Selama pesta berlangsung, Irimiami dan istrinya juga menceritakan berbagai peristiwa yang pernah mereka alami kepada seluruh penduduk Kampung Randuayaivi. Hingga saat ini, masyarakat Papua, khususnya yang berada di Kabupaten Kepulauan Yapen, mengeramatkan batu api itu. Mereka percaya bahwa Irimiami dan Isoray adalah orang pertama yang menemukannya. Setahun sekali, mereka mengadakan upacara pemujaan terhadap batu keramat itu.

Baca Selengkapnya ....

Asal Mula Kerang Di Nimboran Papua

Posted by Silver Kamis, 11 Juli 2013 0 komentar
Nimboran merupakan sebuah kampung di daerah pedalama papua Indonesia, yang terkenal memiliki banyak kerang laut. Menurut cerita, keberadaan kerang-kerang laut di Kampung Nimboran disebabkan oleh suatu peristiwa ajaib. Peristiwa apakah yang menyebabkan keberadaan kerang-kerang laut tersebut di Kampung Nimboran? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Kerang di Nimboran berikut ini!

Alkisah, di Desa Congwei, di daerah pantai utara Papua, hiduplah seorang pemuda bernama Wei. Masyarakat sekitar memanggilnya Tangi, yaitu seekor ular jadi-jadian. Jika siang hari ia berwujud ular besar, dan pada malam harinya berwujud manusia. Ia dapat berbicara serta makan dan minum layaknya manusia biasa.
Menurut cerita, Wei datang dari langit menuju ke bumi melalui sebuah pohon yang disebut Ganemu, yaitu sejenis pohon yang buahnya enak dimakan. Ia tinggal di dalam sebuah gua yang menghadap ke laut dan membelakangi bukit di dekat pohon Ganemu tersebut. Ia memilih tinggal di gua itu agar mudah mencari ikan dan terlindung dari udara dingin pada malam hari. Di samping itu, ia juga tidak terganggu oleh orang lain. Di dalam gua itu, ia tinggal bersama seorang nenek yang senantiasa membantu mengurus segala keperluan hidupnya.
Ketika turun dari langit, Wei membawa bibit tanaman seperti kelapa, pisang, dan biji sagu untuk dikembangbiakkkan di bumi. Selain itu, ia juga membawa biji pohon ajaib yang bernama Rawa Tawa Pisoya, yaitu sejenis pohon yang dapat berbuah kerang berharga yang nilainya sama dengan uang. Semua bibit tanaman tersebut ia tanam di sekitar tempat tinggalnya, sedangkan biji pohon ajaib itu ia tanam di dalam gua. Ketika pohon ajaib itu telah berbuah, Wei memamagari dan menutupinya dengan tikar agar buahnya tidak dimakan burung.
Pada suatu hari, Wei pulang dari berburu ikan di pantai. Saat itu, ia sedang berwujud ular. Ia sangat terkejut ketika merayap hendak memeriksa pohon ajaibnya. Ia mendapati beberapa buah Rawa Tawa Pisoya yang masih muda berserakan di bawah pohon.
“Hei, siapa yang memetik buah pohon ajaibku?” gumamnya.
Betapa terkejutnya ia ketika menoleh ke atas pohon ajaib itu. Ia melihat dua orang gadis sedang asyik memetik buah yang sudah masak dan makan sepuasnya, dan membuang buah yang masih muda. Rupanya, kedua gadis itu kakak beradik, yaitu Lermoin (sulung) dan Yarmoin (bungsu). Wei tidak mau mengusik mereka, karena ia tahu mereka akan turun sendiri dari pohon itu.
“Ah, pasti mereka akan turun jika sudah puas dan kenyang,” ucap Wei sambil mengawasi mereka dari bawah pohon.

Baca Selengkapnya ....

Peu Mana Meinegaka Sawai ( Kabut Yang Membawa Petaka) Papua

Posted by Silver Rabu, 05 Juni 2013 0 komentar
Peu Mana Meinegaka Sawai merupakan bahasa dari daerah Papua yang berarti kabut membawa petaka. Kabut yang dianggap sering membawa petaka itu berada di puncak Gunung Zega di daerah Bilai, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika kabut itu sewaktu-waktu muncul di puncak gunung pertanda akan terjadi petaka besar. Bagaimana asal mula kepercayaan itu muncul pada masyarakat Paniai? Lalu, petaka besar apakah yang akan terjadi jika kabut itu muncul di puncak Gunung Zega? Ikuti kisahnya dalam cerita Peu Mana Meinegaka Sawai berikut ini!

Alkisah, di daerah Paniai, Papua, terdapat sebuah kampung bernama Bilai. Tidak jauh dari kampung terdapat sebuah gunung yang berdiri tegak dan tinggi bernama Zega. Penduduk kampung Bilai percaya bahwa gunung itu ada penghuninya. Apabila terserang wabah penyakit, mereka meminta sering bantuan kepada penghuni gunung itu melalui seorang pawang yang diyakini memiliki kesaktian yang tinggi.
Suatu hari, penduduk Bilai ingin mengetahui dan melihat langsung wujud penunggu gunung itu. Oleh karena rasa penasaran tersebut, para penduduk mengundang seorang pawang untuk bermusyawarah di Balai Desa.
“Maaf, Pawang! Kami mengundang sang pawang untuk berkumpul di tempat ini atas permintaan seluruh warga,” ungkap tetua kampung membuka musyawarah itu.
“Kalau boleh saya tahu, ada apa gerangan?” tanya sang pawang penasaran.
Tetua kampung kemudian menjelaskan mengenai maksud mereka. Setelah mendengar penjelasan tersebut, sang pawang pun dapat memahami keinginan seluruh warga.
“Baiklah kalau begitu. Saya akan mengantar kalian menuju ke puncak Gunung Zega. Saya pun merasa penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya penghuni Gunung Zega itu. Selama ini saya selalu meminta bantuan kepadanya, tetapi belum pernah bertemu secara langsung,” ungkap sang pawang.
Keesokan hari, para penduduk dari kaum laki-laki berangkat bersama sang pawang menuju ke puncak Gunung Zega dengan membawa senjata berupa tombak. Perjalanan yang mereka lalui cukup sulit karena harus melewati hutan lebat, menyeberangi sungai, dan memanjat tebing yang terjal. Meski demikian, mereka berjalan tanpa mengenal lelah dan pantang menyerah demi menghilangkan rasa penasaran mereka.
Setibanya di puncak Gunung Zega, para penduduk beristirahat untuk melepaskan lelah. Suasana di puncak gunung itu sangat dingin dan sunyi mencekam. Yang terdengar hanya suara-suara binatang dan kicauan burung memecah kesunyian. Saat mereka tengah asyik beristirahat, tiba-tiba seekor biawak besar melintas tidak jauh dari tempat mereka beristirahat.
“Hai, lihat! Makhluk apakah itu?” teriak salah seorang anggota rombongan ketika melihat biawak itu.
Mendengar teriakan itu, anggota rombongan lainnya segera beranjak dari tempat duduk mereka. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat seekor biawak besar berkepala manusia, kakinya seperti kaki cicak, dan berkulit keras seperti kulit biawak. Dengan tombak di tangan, mereka kemudian mengepung biawak itu.
“Ayo kita habisi saja makhluk aneh itu!” seru seorang warga.
“Tenang saudara-saudara! Kita tidak perlu gegabah. Saya yakin, makhluk inilah penghuni gunung ini,” kata sang pawang.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan terhadap makhluk ini?” tanya seorang warga.
“Sebaiknya kita tangkap saja biawak ini,” ujar sang pawang.
Akhirnya para penduduk bersepakat untuk menangkap biawak itu dan membawanya pulang ke kampung. Setiba di kampung, biawak berkepala manusia itu menjadi tontonan seluruh warga. Mereka sangat heran melihat wujud makhluk itu. Kaum lelaki segera membuatkan kandang biawak itu untuk dipelihara. Jika suatu ketika mereka mendapat musibah, mereka dengan mudah meminta bantuan kepada biawak yang diyakini sebagai penghuni Gunung Zega itu.
Tanpa mereka duga, ternyata biawak itu dapat berbicara layaknya manusia. 
“Wahai seluruh penduduk kampung ini! Saya berjanji akan memenuhi segala keinginan kalian tetapi dengan satu syarat,” kata biawak itu.
“Apakah syaratmu itu wahai biawak?” tanya sang pawang.
“Kalian harus memberikan saya satu kepala suku atau kepala kepala perang sebagai tumbal,” pinta biawak itu.
Para penduduk pun tergiur mendengar janji biawak itu. Setiap penduduk menginginkan harta benda. Untuk itulah, mereka berlomba-lomba mencari satu kepala suku atau kepala perang untuk diserahkan kepada biawak itu. Perang antarsuku pun tak terhindarkan sehingga banyak kepala perang dan kepala suku yang menjadi korban.
Lama-kelamaan, kaum lelaki di daerah itu semakin hari semakin berkurang. Setelah melihat akibat dari menuruti permintaan biawak itu, para penduduk menjadi sadar. Akhirnya mereka bersepakat untuk membinasakan biawak itu agar tidak ada lagi warga yang menjadi korban. Mereka pun menombak biawak itu hingga tewas. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, biawak itu sempat menyampaikan sebuah pesan kepada warga.
“Jika ada kabut yang muncul di puncak Gunung Zega, maka itu pertanda akan terjadi perang.”
Sejak itulah, penduduk Bilai percaya bahwa kabut di puncak Gunung Zega adalah kabut pembawa petaka.

Baca Selengkapnya ....
Copyright of Cerita Nusantara .